The 2nd Voice for Fisheries

The 2nd Voice for Fisheries

Organized by Sustainable Fishing Community:
Department of Fisheries Resources Utilization – IPB University
Undergraduate Students Association of Fisheries Resources Utilization
Graduate Students Association of Fisheries Resources Utilization

Industri Perikanan Tuna Indonesia di Masa Pandemi Covid-19

Will be held on
Sabtu, 16 Mei 2020
Pukul 10.00-12.00 WIB

Platform
Zoom Cloud meeting

Pembicara :
1. Trian Yunanda, SPi, MSc (Direktur Pengelolaan SDI-KKP)
2. Abrizal Ang, MBA (PT Samudra Mandiri Sentosa)

Pembahas:
Dr. Ir. Sugeng H Wisudo, MSi (Ketua Departemen PSP FPIK IPB)

Moderator:
Dr. Roza Yusfiandayani, SPi

Link Pendaftaran:
https://bit.ly/TheVoiceFisheries

Batas Pendaftaran
Kamis, 14 Mei 2020 pukul 23.55 WIB

CP: Julia Eka Astarini, SPi, MSi (081212111433)

Perikanan Hiu dan Tantangan Pengelolaannya, The 1st Voice For Fisheries Webinar

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP) FPIK IPB bersama dengan Forum Mahasiswa Teknologi Perikanan Laut dan Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Himafarin) yang tergabung dalam Sustainable Fishing Comunity mengadakan webinar yang pertama dengan judul The 1st Voice For Fisheries, dengan mengangkat tema tentang Perikanan Hiu vs Tantangan Pengelolaannya. Webinar ini diselenggarakan melalui platform Zoom Cloud Meeting pada hari Sabtu 9 Mei 2020. Hadir sebagai pembicara utama Benaya Simeon SPi MSi (Wildlife Conservation Society Indonesia) dan Drs Dharmadi (PUSRISKAN BRSDM KKP) serta Dr Am Azbas Taurusman SPi MSi (Dosen Departemen PSP FPIK IPB) sebagai pembahas juga Akhmad Solihin SPi, MSi (Dosen Departemen PSP FPIK IPB) sebagai moderator.

Pada kesempatan ini Benaya menyampaikan seputar kondisi perikanan hiu, upaya konservasi dan peluang risetnya. Dalam pemaparannya Benaya menyebutkan bahwa hiu berperan penting dalam ekosistem, saat lahir dia sudah berada ditengah-tengah rantai makanan, ketika besar nanti ada di top predator untuk menjaga keseimbangan food web. “Menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, sebuah organisasi internasional yang didedikasikan untuk konservasi sumber daya alam) seluruh hiu dan pari 31% dari seluruh spesies mengalami keterancaman. Dari 1250 jenis ikan bertulang rawan sekitar 250 jenis ada di Indonesia” ujarnya.

Tahun 1990an saat terjadi krisis ekonomi, akibat harga dollar naik berdampak pada peningkatan harga sirip hiu sehingga masyarakat berlomba menangkap hiu dan pari sehingga Indonesia menjadi negara penangkap hiu dan pari terbesar di dunia. Akhirnya tahun 2000an beberapa jenis hiu dan pari masuk apendiks 2 CITES (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources/konvensi antar negara untuk membicarakan satwa yang terancam). Artinya perdagangan hiu dan pari antar negara harus diatur.

Menurutnya upaya konservasi yang sudah dilakukan terbagi menjadi 3 level yaitu nasional, provinsi dan dasar. Upaya di level nasional berupa implementasi regulasi CITES seperti ketelusuran, penentuan kuota, serta RAN (rencana aksi nasional) hiu dan pari, juga upaya penegakan hukum, peningkatan kapasistas, dan penyadartahuan”.
Terkait dengan peluang riset hiu dan pari, menurutnya “beberapa kajian analisis biologi yang bisa dilakukan seperti analisis kematangan kelamin, distribusi habitat, dan siklus hidup hiu dan pari”. Pada analisis perikanan kita juga bisa mengkaji analisis dinamika populasi, kelimpahan tangkap hingga analisis musim perikanan tangkap”.

Sementara Drs Dharmadi menyampaikan bahwa perburuan hiu dan pari terus berlangsung sehingga populasi terus menurun maka perlu ada pengelolaan yang berkelanjutan. Beberapa opsi pengelolaan hiu dan pari adalah Pertama, Larangan shark finning karena praktek shark finnng masih terjadi pada sebagian perikanan artisanal di wilayah Timur Indonesia. Praktek seperti ini akan menarik banyak perhatian baik nasional dan internasional. Diperlukan peraturan bagi semua kapal penangkap ikan yang menangkap ikan hiu, apakah menjadi target atau sebagai bycatch, untuk mendaratkan seluruh tangkapannya dalam kondisi utuh.

Meskipun sudah ada Per.Men. KP 12 / PERMEN / 2012 (perikanan tangkap perusa
haan di laut lepas); diamandemen pada 26 / PERMEN-KP / 2013. Peraturan ini belum menyentuh nelayan hiu artisanal secara umum. Implementasi regulasi ini jika diterapkan, tidak saja akan meningkatkan data produksi perikanan hiu nasional, tetapi juga tubuh hiu yang terbuang dapat diolah menjadi produk perikanan yang bernilai ekonomis. Namun demikian, masih diperlukan penelitian mengenai implikasi sosial-ekonomi dari larangan dan sanksi bagi penangkap hiu, terkait dengan kesejahteraan nelayan.

Kedua, Pembatasan Ukuran, dimana penangkapan hiu yang belum dewasa akan mengancam kelangsungan sumberdaya. Undang-undang Perikanan 31/2004 (sebagaimana telah diubah dengan no.45/2009) menyatakan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan harus menentukan ukuran ikan minimum yang diijinkan tertangkap. Namun, belum ada larangan ukuran minimum tertangkap untuk spesies hiu. Kelompok hiu juvenil-muda banyak dijumpai di perairan pantai, yang merupakan daerah penangkapan ikan untuk perikanan artisanal.

Ketiga, Pengaturan alat tangkap, Menurutnya “pengaturan ukuran mata jaring untuk menghindari tertangkapnya hiu juvenil-muda, misalnya melalui penggunaan jaring dengan “mesh size” yang lebih besar”.

Keempat, Pembatasan volume tangkapan dengan cara membatasi jumlah kapal/armada penangkap atau jumlah mata pancing (untuk alat tangkap target). Selain itu pemerintah seharusnya tidak mengeluarkan ijin menambah kapal penangkap ikan, khususnya untuk kapal penangkap yang berpotensi tinggi menangkap hiu sebagai by-catch.

Kelima, Pengaturan kuota untuk membatasi intensitas eksploitasi sehingga volume sumber daya ikan yang ditangkap tidak melebihi batas maksimum untuk pengelolaan berkelanjutan.

Keenam, Perlindungan habitat kritis (nursery ground); Perlu ada keseimbangan antara kepentingan masyarakat yang mengeksploitasi hiu di daerah pesisir dan kebutuhan untuk melindungi bagian wilayah pesisir ini sebagai habitat asuhan. Untuk mencapai hal ini membutuhkan data akurat tentang lokasi daerah asuhan yang tepat untuk berbagai spesies hiu. Lokasi ini seharusnya kemudian dinyatakan sebagai zona konservasi atau tempat perlindungan hiu, sementara masyarakat nelayan masih bisa mengeksploitasi sumber daya di wilayah pesisir lainnya.

Ketujuh, Perlindungan hiu terancam; IUCN telah menerbitkan daftar spesies hiu terancam secara global (www.redlist.org; Dulvy et al. 2014). Spesies hiu yang terancam punah umumnya membutuhkan perlindungan secara nasional untuk mencegah kepunahannya. Upaya perlindungan spesies terancam di Indonesia, sudah dilakukan pemerintah (KKP-KLHK) melalui Peraturan Pemerintah.
Penulis : Retno Muninggar

– Humas PSP FPIK IPB –

1 9 10 11 12 13 20