Dosen IPB Bersama Para Pakar Bahas Perikanan Hiu dan Tantangan Pengelolaannya

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University bersama Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan serta Forum Mahasiswa Teknologi Perikanan Laut yang tergabung dalam Sustainable Fishing Community mengadakan webinar dengan judul The 1st Voice for Fisheries, Perikanan Hiu vs Tantangan Pengelolaannya, 9/5. Hadir sebagai pembicara utama adalah Benaya Simeon SPi MSi (Wildlife Conservation Society Indonesia), Drs Dharmadi (Pusriskan BRSDM KKP) juga Dr Am Azbas Taurusman SPi MSi (Dosen IPB University dari Departemen PSP) sebagai pembahas.

Pada kesempatan ini Benaya menyampaikan seputar kondisi perikanan hiu, upaya konservasi dan peluang risetnya. Ia menjelaskan bahwa hiu dan pari merupakan ikan bertulang rawan yang memiliki keturunan yang sedikit yaitu 1 sampai 40 anak. Selain itu hiu harus menunggu waktu yang lama bahkan bisa mencapai 30 tahun untuk siap melakukan proses perkawinan.

“Hiu berperan penting dalam ekosistem, saat lahir dia sudah berada di tengah-tengah rantai makanan. Ketika besar nanti ada di top predator untuk menjaga keseimbangan makanan. Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) hiu dan pari, 31 persen dari seluruh spesies mengalami keterancaman. Dari 1.250 jenis ikan bertulang rawan, sekitar 250 jenis ada di Indonesia. Jadi lokasi kita itu menjadi pos habitat bagi hiu dan pari,” ujarnya.

Menurutnya pada tahun 1940an ikan hiu dikonsumsi secara lokal. Pada tahun 1980an muncul permintaan internasional. Di sinilah mulai muncul perikanan hiu di Indonesia. Pada tahun 1990an terjadi krisis ekonomi dan Indonesia menjadi negara penangkap hiu dan pari terbesar di dunia. Akhirnya tahun 2000an beberapa jenis hiu dan pari masuk apendiks 2 Convention on International Trade in Endangered Species (CITES).

“Artinya perdagangan antar negaranya harus diatur. Hiu dan pari merupakan tangkapan sampingan namun tetap berharga dan nelayan kita tidak mau melepas apapun yang telah ditangkapnya,” jelasnya.

Menurutnya upaya konservasi yang sudah dilakukan terbagi menjadi 3 level yaitu nasional, provinsi dan dasar. Di level nasional kita perlu implementasikan regulasi CITES seperti ketelusuran, penentuan kuota, kita juga punya Rencana Aksi Nasional (RAN) hiu dan pari, juga upaya penegakan hukum, peningkatan kapasistas dan penyadartahuan.

Ia juga menyampaikan success story masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB) yang bersepakat untuk berhenti menangkap hiu dan pari yang dilindungi serta membatasi alat tangkap. Ada juga kisah sukses patroli Dinas Kelautan dan Perikanan Flores Timur yang berhasil menurunkan jumlah penangkapan pari manta hingga menurun drastis.

“Selain upaya-upaya tadi, di bidang riset, ada beberapa kajian yang bisa dilakukan seperti mencari tahu tentang kematangan kelamin dan siklus hidupnya seperti apa. Pada analisis perikanan kita juga bisa mengkaji analisis dinamika populasi, kelimpahan tangkap hingga analisis musim perikanan tangkap. Juga riset mengenai daerah kritis tempat hiu kawin, melahirkan serta tumbuh dan besar,” paparnya.

Sementara Dharmadi menyampaikan bahwa perburuan terus berlangsung sehingga populasi terus menurun maka perlu ada pengelolaan yang bijak. Kelompok hiu memiliki karakteristik biologi yang rentan terhadap aktivitas penangkapan karena memiliki pertumbuhan yang lambat.

“Misalnya thresher shark itu pada umur satu tahun pertumbuhannya sekitar 10 sentimeter saja. Pada umur 10-11 tahun itu hanya satu sampai dua sentimeter. Kematangan gonad dan kelaminnya juga lambat serta fekunditas juga rendah,” jelasnya.

Secara global penurunan populasi hiu ditunjukkan dengan bertambahnya beberapa spesies hiu berstatus terancam punah. Perlu upaya untuk mengimplementasikan sejumlah Undang-undang perikanan yang melindungi sumberdaya hiu dari kepunahan.

“Sumberdaya hiu memiliki peran penting bagi ekosistem laut tetapi juga sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu kita memilik RAN untuk konservasi dan pengelolaan hiu. RAN disusun berdasarkan International Plan of Action (IPOA) yang dikeluarkan FAO 1999,” ungkapnya.

Menurutnya, untuk meningkatkan pengelolaan hiu berkelanjutan, hal pertama yang harus dilakukan yaitu pelarangan shark finning, ada pembatasan ukuran dan pengaturan alat tangkap. Selain itu, perlu adanya pembatasan volume tangkapan, pengaturan kuota, perlindungan habitat kritis serta perlindungan hiu terancam.

“Alat tangkap yang diketahui ialah jaring liongbun (bottom gillnet) karena dia memiliki mesh size yang besar. Boleh dikatakan ini alat tangkap yang menurut kami lebih selektif karena yang tertangkap berukuran besar. Namun hasil pengamatan kami di Muara Angke, banyak juga ukuran yang matang atau hamil tertangkap. Penggunaan mesh size kecil dapat mengurangi potensi menangkap hiu ukuran dewasa. Jadi pengurangan bycatch hiu juvenil muda di pantai merupakan tantangan yang perlu dicari solusinya,” jelasnya.

Perlu ada keseimbangan antara kepentingan masyarakat yang memanfaatkan hiu di daerah pesisir dengan kebutuhan untuk melindungi wilayah pesisir sebagai habitat asuhan. Maka diperlukan data akurat tentang lokasi daerah asuhan yang tepat. Lokasi ini seharusnya dinyatakan sebagai zona konservasi atau tempat perlindungan hiu, sementara masyarakat nelayan masih bisa mengeksploitasi sumberdaya pesisir lainnya. (IR/Zul)

Artikel asli dimuat pada: https://kumparan.com/news-release-ipb/dosen-ipb-bersama-para-pakar-bahas-perikanan-hiu-dan-tantangan-pengelolaannya-1tOljaouQ3i/full