AHLI KAPAL PERIKANAN DEPARTEMEN PSP FPIK IPB MENGKRITISI KEBIJAKAN PENANGKAPAN IKAN TERUKUR
Penulis : Tri Wiji Nurani
Bogor, (03/08/2024) – Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP) FPIK IPB, berkolaborasi dengan Forum Kemitraan Konsorsium Perikanan Tangkap (FK2PT), menyelenggarakan serial diskusi dalam rangka memberikan kontribusi pemikiran terkait dengan rencana implementasi kebijakan penangkapan ikan terukur. Diskusi kali ini mengangkat sub-tema “Kebijakan Pengaturan Kapal Perikanan dan Awak Kapal Perikanan”. Acara diselenggarakan secara online melalui Zoom dan disiarkan langsung di YouTube Departemen PSP, dengan dihadiri lebih dari 90 peserta. Dr. Budhi Hascaryo Iskandar Dosen Departemen PSP yang merupakan ahli kapal perikanan sebagai narasumber, dengan fasilitator Dr. Maman Hermawan Dosen Poltek AUP Jakarta.
Diskusi dibuka oleh Dr. Agus Suherman selaku Ketua FK2PT, yang menjelaskan bahwa fokus diskusi kali ini adalah aspek kapal dan awak kapal, setelah pada diskusi sebelumnya berfokus pada infrastruktur dan sumber daya ikan. “Pada tahun 2023, tahap awal implementasi penangkapan ikan terukur, jumlah kapal berizin pusat meningkat dari 6.000 menjadi 14.000 kapal,” ungkap Dr. Agus. Beliau juga menekankan pentingnya standar keselamatan dan keterampilan melaut yang lebih baik untuk nelayan dan awak kapal.
Dr. Budhi, selaku narasumber, memaparkan bahwa diskusi berfokus pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang penangkapan ikan terukur dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 28 Tahun 2023 tentang pelaksanaan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Regulasi tersebut mengatur tentang awak kapal, meskipun belum terlalu detail. Regulasi ini mewajibkan nakhoda, perwira, dan anak buah kapal berwarga negara Indonesia, guna membatasi tenaga kerja asing dan memaksimalkan sumber daya manusia lokal.
Dalam sesi diskusi, salah seorang peserta menyampaikan keprihatinannya terkait pengukuran GT kapal yang tidak konsisten, sehingga mempengaruhi pendapatan daerah dari biaya tambat dan labuh kapal. Narasumber menanggapi bahwa pengukuran yang terukur dalam penangkapan ikan seharusnya mencakup semua aspek, bukan hanya pembagian kuota. Saat ini, ukuran kapal diukur berdasarkan bobot kotor (gross tonnage atau GT), tetapi ini sering kali menimbulkan bias. Negara-negara maju mulai beralih menggunakan ukuran panjang kapal, karena lebih mudah diukur. Pengukuran panjang ini memudahkan proses pengaturan seperti tambat labuh yang tinggal menyesuaikan panjang kapal. Namun, di Indonesia, sistem pengukuran masih bercampur antara menggunakan panjang untuk beberapa hal dan GT untuk lainnya.
Sebagai penutup, Prof. Tri Wiji, selaku pengarah acara, menambahkan bahwa implementasi kebijakan tidak dapat dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia karena hal tersebut akan menghadapi banyak resistensi. Oleh karena itu, kebijakan perlu diterapkan secara bertahap, misalnya dalam satu zona atau komoditas tertentu terlebih dahulu. Pendekatan ini akan lebih efektif dibandingkan dengan penerapan secara langsung untuk seluruh Indonesia.